Intelektualisme Kaum Muda Muhammadiyah, Progresif dan Memihak
Sejak lahir pada tahun 1912, Muhammadiyah adalah organisasi keagamaan yang identik dengan visi pembaruan. Organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan ini banyak mendapatkan pujian dari berbagai pihak atas kiprahnya dalam mewarnai kehidupan keagamaan, sosial, ekonomi, dan politik. Beragam pemikiran dan aksi yang terdokumentasikan dalam hamparan historisitas Indonesia adalah bukti riil dari komitmennya untuk memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Satu abad adalah sebuah perjalanan panjang. Muhammadiyah akan melewatinya dalam beberapa bulan mendatang. Perjalanan ini bisa dimaknai ganda: udzur dari segi usia dan aktivitas; makin matang dan sudah enggan berubah dari status quo serta menikmati zona kenyamanan; atau sebaliknya, merupakan titik pangkal untuk melahirkan dan melakukan revolusi tajdid untuk melahirkan gagasan dan aksi yang lebih segar dan bermakna.
Fakta-fakta di lapangan tampaknya menunjukan bahwa Muhammadiyah lebih berpihak pada zona kenyamanan, dan kejumudan terlihat makin menggerogoti memori kolektif warga Muhammadiyah. Inilah saatnya untuk bercermin tentang perlunya spirit tajdid terus dihidupkan, setelah sekian lama berkubang dalam problem kontinuitas tanpa perubahan; yaitu rutinitas amal usaha minus kreativitas dan inovasi pikiran-pikiran dan gerakan-gerakan alternatif yang menjanjikan. Jika dipandang perlu, Muhammadiyah ganti kulit, agar tubuh dan spirit mudanya bangkit kembali, gairahnya bergejolak, kehangatannya memuncak, dan mampu memproduksi zaman keemasan.
Bila dapat dikiaskan dengan perkembangan keilmuan, Muhammadiyah saat ini mungkin dapat dikatakan sedang beranjak dari fase “normal science” ke fase “krisis paradigmatik”, meminjam istilah Thomas Kuhn. Lazimnya sebuah institusi yang sudah lama mapan dan normal, sementara tantangan dan peluang zaman terus berubah, Muhammadiyah mulai menunjukkan (atau ditunjukkan oleh orang luar) anomali, guncangan-guncangan epistem yang menengarai keusangan dan kebuntuan dalam banyak hal.
Ada beberapa kemungkinan respon yang bisa ditunjukkan terhadap krisis pradigmatik dalam Muhammadiyah: upaya mengatasi krisis relatif berhasil sehingga meningkatkan pemahaman bahwa paradigma yang selama ini diyakini Muhammadiyah memang sudah tidak relevan dan harus diganti dengan paradigma lain; jatuh dalam kekacauan atau kebuntuan paradigma; munculnya kekuatan otoritarianisme keagamaan; dan transformasi paradigmatik menuju ke paradigma yang lebih baik dan lebih dapat diadopsi untuk realitas yang baru. Yang pertama dimaknai revolusi; yang kedua dan ketiga sebagai involusi; dan yang terakhir sebagai transformasi.
Transformasi paradigmatik agaknya adalah pilihan yang rasional untuk menjawab tantangan di atas. Muhammadiyah perlu belajar melihat fenomena dan realitas baru dengan cara yang berbeda meskipun kadang harus sedikit menentang arus. Faktor-faktor eksternal (dapat bersifat intelektual atau non-intelektual seperti sosial, politik, ekonomi, institusional, teknologi, dsb.) sesungguhnya dapat menentukan saat yang tepat bagi guncangan wacana dan praksis lama dalam Muhammadiyah (dan Islam umumnya). Sementara itu, faktor-faktor internal berupa kegelisahan dari dalam tubuh Muhammadiyah yang menghendaki alternatif dan modifikasi atas wacana dan praksis sosial yang sudah mapan.
Agar transformasi paradigmatik dapat terwujud, perlu ada upaya sistemik agar sejumlah anomali diakui dan dipahami bersama oleh warga Muhammadiyah. Semua pihak memberikan perhatian untuk mencari resolusi atas krisis etos keilmuan (tajdîd al-afkâr), dan terlibat untuk mulai bekerja menurut kapasitas masing-masing sehingga perubahan dalam pradigma menjadi mungkin. Perubahan paradigma ini menjadi amat mendasar, karena terlepas dari berbagai upaya yang telah dilakukan Muhammadiyah, fenomena kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, dan ketertindasan, nyata-nyata semakin tak terbendung.
Rangkaian pembaruan yang hendak dilakukan Muhammadiyah sudah semestinya berpijak pada hamparan persoalan yang telanjang itu. Paduan intelektualisme (man of thought) dan aktivisme (man of action) kaum Muda Muhammadiyah harus dapat diarahkan pada pemihakan terhadap mereka yang terjerat rantai ketertindasan, baik secara ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Sebab itulah, tantangan berbagai organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah dewasa ini adalah bagaimana menghadirkan intelektualisme Islam yang memihak itu.
Sebagai penutup, pengertian intelektualisme yang memihak, dapat dimaknai sebagaimana apa yang disebut oleh Ignacio Ellacuria sebagai pemihakan pada transformasi sosial, serta bersuara bagi mereka yang tidak punya suara dan memperjuangkan hak-hak mereka. Inilah kiranya, intelektualisme kaum muda Muhammadiyah sudah semestinya diarahkan pada level praksis dan membumi. Mudah-mudahan menuju satu abad Muhammadiyah, terdapat pencerahan yang betul-betul mencerahkan bagi umat.
Sejak lahir pada tahun 1912, Muhammadiyah adalah organisasi keagamaan yang identik dengan visi pembaruan. Organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan ini banyak mendapatkan pujian dari berbagai pihak atas kiprahnya dalam mewarnai kehidupan keagamaan, sosial, ekonomi, dan politik. Beragam pemikiran dan aksi yang terdokumentasikan dalam hamparan historisitas Indonesia adalah bukti riil dari komitmennya untuk memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Satu abad adalah sebuah perjalanan panjang. Muhammadiyah akan melewatinya dalam beberapa bulan mendatang. Perjalanan ini bisa dimaknai ganda: udzur dari segi usia dan aktivitas; makin matang dan sudah enggan berubah dari status quo serta menikmati zona kenyamanan; atau sebaliknya, merupakan titik pangkal untuk melahirkan dan melakukan revolusi tajdid untuk melahirkan gagasan dan aksi yang lebih segar dan bermakna.
Fakta-fakta di lapangan tampaknya menunjukan bahwa Muhammadiyah lebih berpihak pada zona kenyamanan, dan kejumudan terlihat makin menggerogoti memori kolektif warga Muhammadiyah. Inilah saatnya untuk bercermin tentang perlunya spirit tajdid terus dihidupkan, setelah sekian lama berkubang dalam problem kontinuitas tanpa perubahan; yaitu rutinitas amal usaha minus kreativitas dan inovasi pikiran-pikiran dan gerakan-gerakan alternatif yang menjanjikan. Jika dipandang perlu, Muhammadiyah ganti kulit, agar tubuh dan spirit mudanya bangkit kembali, gairahnya bergejolak, kehangatannya memuncak, dan mampu memproduksi zaman keemasan.
Bila dapat dikiaskan dengan perkembangan keilmuan, Muhammadiyah saat ini mungkin dapat dikatakan sedang beranjak dari fase “normal science” ke fase “krisis paradigmatik”, meminjam istilah Thomas Kuhn. Lazimnya sebuah institusi yang sudah lama mapan dan normal, sementara tantangan dan peluang zaman terus berubah, Muhammadiyah mulai menunjukkan (atau ditunjukkan oleh orang luar) anomali, guncangan-guncangan epistem yang menengarai keusangan dan kebuntuan dalam banyak hal.
Ada beberapa kemungkinan respon yang bisa ditunjukkan terhadap krisis pradigmatik dalam Muhammadiyah: upaya mengatasi krisis relatif berhasil sehingga meningkatkan pemahaman bahwa paradigma yang selama ini diyakini Muhammadiyah memang sudah tidak relevan dan harus diganti dengan paradigma lain; jatuh dalam kekacauan atau kebuntuan paradigma; munculnya kekuatan otoritarianisme keagamaan; dan transformasi paradigmatik menuju ke paradigma yang lebih baik dan lebih dapat diadopsi untuk realitas yang baru. Yang pertama dimaknai revolusi; yang kedua dan ketiga sebagai involusi; dan yang terakhir sebagai transformasi.
Transformasi paradigmatik agaknya adalah pilihan yang rasional untuk menjawab tantangan di atas. Muhammadiyah perlu belajar melihat fenomena dan realitas baru dengan cara yang berbeda meskipun kadang harus sedikit menentang arus. Faktor-faktor eksternal (dapat bersifat intelektual atau non-intelektual seperti sosial, politik, ekonomi, institusional, teknologi, dsb.) sesungguhnya dapat menentukan saat yang tepat bagi guncangan wacana dan praksis lama dalam Muhammadiyah (dan Islam umumnya). Sementara itu, faktor-faktor internal berupa kegelisahan dari dalam tubuh Muhammadiyah yang menghendaki alternatif dan modifikasi atas wacana dan praksis sosial yang sudah mapan.
Agar transformasi paradigmatik dapat terwujud, perlu ada upaya sistemik agar sejumlah anomali diakui dan dipahami bersama oleh warga Muhammadiyah. Semua pihak memberikan perhatian untuk mencari resolusi atas krisis etos keilmuan (tajdîd al-afkâr), dan terlibat untuk mulai bekerja menurut kapasitas masing-masing sehingga perubahan dalam pradigma menjadi mungkin. Perubahan paradigma ini menjadi amat mendasar, karena terlepas dari berbagai upaya yang telah dilakukan Muhammadiyah, fenomena kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, dan ketertindasan, nyata-nyata semakin tak terbendung.
Rangkaian pembaruan yang hendak dilakukan Muhammadiyah sudah semestinya berpijak pada hamparan persoalan yang telanjang itu. Paduan intelektualisme (man of thought) dan aktivisme (man of action) kaum Muda Muhammadiyah harus dapat diarahkan pada pemihakan terhadap mereka yang terjerat rantai ketertindasan, baik secara ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Sebab itulah, tantangan berbagai organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah dewasa ini adalah bagaimana menghadirkan intelektualisme Islam yang memihak itu.
Sebagai penutup, pengertian intelektualisme yang memihak, dapat dimaknai sebagaimana apa yang disebut oleh Ignacio Ellacuria sebagai pemihakan pada transformasi sosial, serta bersuara bagi mereka yang tidak punya suara dan memperjuangkan hak-hak mereka. Inilah kiranya, intelektualisme kaum muda Muhammadiyah sudah semestinya diarahkan pada level praksis dan membumi. Mudah-mudahan menuju satu abad Muhammadiyah, terdapat pencerahan yang betul-betul mencerahkan bagi umat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar